Antara IPK dan Kebodohan
Mungkin sampai saat ini masih banyak orang-orang yang berfikiran bahwa IPK itu adalah penentu masa depan, apakah sudut pandang tersebut salah? Mungkin jika dalam beberapa perspektif banyak sekali kekeliruan dalam interprestasi dalam mengartikan tujuan utama dalam berkuliah, apakah itu berhulu uang, ilmu atau bahkan strata?
Saya adalah seseorang yang berfikiran bahwa ilmu bukan hanya didapatkan dalam slide powerpoint dosen, mulutnya, ataupun diktat yang mereka wajibkan untuk dibeli. Ya saya juga tentunya tidak memunafikan bahwa hal tersebut adalah bagian dalam sumber keilmuan, namun apakah hal tersebut yang membuat kebanyakan mahasiswa hanya menjadi robot saja karena dibatasi oleh sudut pandang dosen yang harus dicerna entah itu secara mentah ataupun sempurna?.
Apakah dalam tulisan ini saya membela seseorang yang membuat pembenaran dengan imitasi yang salah, tentunya saya tidak mendukung orang yang bolos kuliah dengan pembenaran bahwa banyak sosok yang sukses yang meninggalkan kuliah, tentunya pemahaman itu salah, sosok seperti itu adalah sosok 1% yang sukses dan sisanya 99% yang gagal. Apakah satu persen tersebut adalah orang yang beruntung? Ya mungkin saja, dia beruntung karena mimiliki jiwa akan haus pengetahuan maupun memiliki sumber daya yang mendukung.
Sebagai seorang praktisi yang mencakup akademisi tentunya bangku kuliah kadang bukan tempat yang cocok untuk menggali ilmu, kalau dihitung-hitung mungkin saya hampir duabulan membolos kuliah, tidak liburan ketika liburan semester yang selama 3 bulan itu, apakah keilmuan yang saya dapatkan dalam proses tersebut akan diperhitungkan dosen? Tentunya tidak, ilmu saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan coretan absen yang membuat absen saya sejajar dengan beberapa tipe tukang bolos lainya. Apakah nilai saya memang pantas lebih buruk dengan orang-orang yang menyontek, dengan nilai plus absen mereka yang full yang mungkin dengan beberapa tipsen, kegiatan selama setahun ini yang saya habiskan untuk memahami teori maupun praktek Hukum Pidana seseimbang mungkin, dan bahkan dengan usaha saya untuk mengharumkan nama almamater, saya mendapatkan imbalan predikat cukup, ya hal tersebut sulit disyukuri ketika kita melihat tipe yang saya sebutkan diatas mendapatkan predikat yang lebih baik, namun kembali lagi apakah predikat tersebut bisa diaplikasikan pada dunia implemetasi atau tidak?. Banyak dosen yang mendeklarasikan bahwa teori itu hanya 10% yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sisanya praktek, tapi ya sistem baru ini memang masih terlalu debatable buat menggantikan sistem tua.
Setelah mengetahui sistem kuliah di jerman yang benar-benar bisa disebut dengan tempat menutut ilmu, saya seakan ingin pindah kesana, dijerman ternyata tidak ada absen!. Ya mereka memang sudah percaya dengan kemampuan mahasiswanya,kasarnya lo bisa belajar dimanapun kapanpun tanpa batasan keilmuan ataupun ruang dan waktu, tapi tetap memilki kualitas control dengan adanya mid and final exam. Apakah hal tersebut bisa diterapkan disini, jika memang sistem examnya benar-benar murni saya yakin bisa. Yang menjadi point bahasan dalam tulisan saya kali ini, saya tidak mempermasalahkan jika memang tipe-tipe mahasiswa yang saya sebutkan diatas memiliki predikat lebih baik dari saya, yang menjadi sorotan saya adalah ketika ilmu yang menjadi titik poros dinegeri ini seakan dianak tirikan.
Mungkin sampai saat ini masih banyak orang-orang yang berfikiran bahwa IPK itu adalah penentu masa depan, apakah sudut pandang tersebut salah? Mungkin jika dalam beberapa perspektif banyak sekali kekeliruan dalam interprestasi dalam mengartikan tujuan utama dalam berkuliah, apakah itu berhulu uang, ilmu atau bahkan strata?
Saya adalah seseorang yang berfikiran bahwa ilmu bukan hanya didapatkan dalam slide powerpoint dosen, mulutnya, ataupun diktat yang mereka wajibkan untuk dibeli. Ya saya juga tentunya tidak memunafikan bahwa hal tersebut adalah bagian dalam sumber keilmuan, namun apakah hal tersebut yang membuat kebanyakan mahasiswa hanya menjadi robot saja karena dibatasi oleh sudut pandang dosen yang harus dicerna entah itu secara mentah ataupun sempurna?.
Apakah dalam tulisan ini saya membela seseorang yang membuat pembenaran dengan imitasi yang salah, tentunya saya tidak mendukung orang yang bolos kuliah dengan pembenaran bahwa banyak sosok yang sukses yang meninggalkan kuliah, tentunya pemahaman itu salah, sosok seperti itu adalah sosok 1% yang sukses dan sisanya 99% yang gagal. Apakah satu persen tersebut adalah orang yang beruntung? Ya mungkin saja, dia beruntung karena mimiliki jiwa akan haus pengetahuan maupun memiliki sumber daya yang mendukung.
Sebagai seorang praktisi yang mencakup akademisi tentunya bangku kuliah kadang bukan tempat yang cocok untuk menggali ilmu, kalau dihitung-hitung mungkin saya hampir duabulan membolos kuliah, tidak liburan ketika liburan semester yang selama 3 bulan itu, apakah keilmuan yang saya dapatkan dalam proses tersebut akan diperhitungkan dosen? Tentunya tidak, ilmu saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan coretan absen yang membuat absen saya sejajar dengan beberapa tipe tukang bolos lainya. Apakah nilai saya memang pantas lebih buruk dengan orang-orang yang menyontek, dengan nilai plus absen mereka yang full yang mungkin dengan beberapa tipsen, kegiatan selama setahun ini yang saya habiskan untuk memahami teori maupun praktek Hukum Pidana seseimbang mungkin, dan bahkan dengan usaha saya untuk mengharumkan nama almamater, saya mendapatkan imbalan predikat cukup, ya hal tersebut sulit disyukuri ketika kita melihat tipe yang saya sebutkan diatas mendapatkan predikat yang lebih baik, namun kembali lagi apakah predikat tersebut bisa diaplikasikan pada dunia implemetasi atau tidak?. Banyak dosen yang mendeklarasikan bahwa teori itu hanya 10% yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sisanya praktek, tapi ya sistem baru ini memang masih terlalu debatable buat menggantikan sistem tua.
Setelah mengetahui sistem kuliah di jerman yang benar-benar bisa disebut dengan tempat menutut ilmu, saya seakan ingin pindah kesana, dijerman ternyata tidak ada absen!. Ya mereka memang sudah percaya dengan kemampuan mahasiswanya,kasarnya lo bisa belajar dimanapun kapanpun tanpa batasan keilmuan ataupun ruang dan waktu, tapi tetap memilki kualitas control dengan adanya mid and final exam. Apakah hal tersebut bisa diterapkan disini, jika memang sistem examnya benar-benar murni saya yakin bisa. Yang menjadi point bahasan dalam tulisan saya kali ini, saya tidak mempermasalahkan jika memang tipe-tipe mahasiswa yang saya sebutkan diatas memiliki predikat lebih baik dari saya, yang menjadi sorotan saya adalah ketika ilmu yang menjadi titik poros dinegeri ini seakan dianak tirikan.
Comments
Post a Comment